Sabtu, 17 Desember 2011

9 Album Independen Indonesia Terbaik

9. Disconnected – Disconnected (Heaven Records / 2011)

Hal pertama yang membuat saya tersenyum lega ketika mendengarkan album ini pertama kali adalah, Disconnected masih tetap seperti yang saya suka. Saya pribadi selalu merasa nyaman mendengarkan komposisi musik yang sangat anjir nyambung banget dari 4 bapak-bapak senior sejak era Inside Out, Discopunkhead dan yang terakhir album selftitled ini. Bagi siapapun yang menasbihkan diri sebagai pionir atau ‘penemu’ peleburan elemen loops, keyboard electronic, dan synthesizers dengan musik punk-rock-pop di negeri ini seharusnya merasa malu meureun setelah mendengarkan 10 (+ 1 bonus) track di album bercover-art jingga ini. Disconnected secara jumawa melagukan lirik sederhana yang mengandung daya magnet sangat besar sehingga mudah diingat. Belum lagi dengan aransemen musik yang lebih “dewasa” atau mungkin bahasa geuleuh nya mah “tepat-guna”. Tidak ada show off suara ‘tonenonet’ berlebihan yang bikin sebel, justru yang muncul menyeruak malah suara gitar yang terdengar sangat hangat dan renyah. Tidak lupa departemen bass dan drum yang secara permainan cukup cepat-trengginas tapi disusun menjadi sangat gagah dan rapih oleh proses pasca-rekaman . Rasa nuansa yang mereka tawarkan pada album sebelumnya, muda-bersemangat, ditambahi dengan apik dengan nuansa “segar”. Ibarat shower-keramas di minggu petang setelah lelah dikejar anjing tetangga.



8. Burgerkill – Venomous (Revolt! / 2011)

Koloni metal kesukaan adik-adik sampai aa aa para sebaghay ini merilis album pertama sepeninggalan vokalis alm. Ivan Scumbag. Menjadi sebuah beban ? menurut saya pasti. Karena karisma dan teriakan parau almarhum menurut saya menjadi nyawa kentara yang sangat sulit ditambal dan disulam oleh sosok frontman baru manapun. Masuknya Vicky yang berkarakter sedikit berbeda (lebih tough-guy, nge-low, siap digelutkeun) membuat Burgerkill pun harus sedikit ikut berbenah dan menyesuaikan. Entah kesamber angin badai macam apa ketika sedang berbenah, perubahan itu malah berlarut menjadi sangatlah edan. Yang paling nampak justru dari aransemen musik. Kita semua jadi mau tidak mau berpikir beberapa detik sebelum headbang. Karena agak susah menebak ritme yang dimainkan oleh mereka sekarang. Lebih ‘ngitung’, ‘tricky’, bahkan ‘ganjil’ sekalipun. Dan perubahan berani macam ini menurut saya sangat harus dilakukan mengingat banyak yang sudah mulai bosan dengan maraknya band-band metal bernafaskan aroma ritme cepat semata yang serupa. Burgerkill sekali lagi memancangkan pasak berupa petir terkuat dalam cuaca musik keras di Indonesia.


7. Absolute Zero – Hardcore Pride (Parewa Records / 2010)

Sebenarnya album ini dirilis pada tahun 2010, tepatnya pada tanggal 20 Desember. Tapi kualitas dan faktor betapa under-rated nya album ini membuat saya merasa harus memasukkanya kedalam daftar 9 Album Independen Indonesia Terbaik 2011 versi ROI! Radio. Judul album ini sebenarnya agak “muluk” atau cengos bagi siapapun yang tidak memasukkan musik Hardcore sebagai penghias hari-hari dalam kehidupannya, termasuk saya. He-he. Tapi semuanya berangsur membalik setelah saya menikmati album ini 2 putaran langsung. Rentetan kata “anjiiir” muncul tanpa sadar ketika saya melakukan headbang secara personal di kamar. Ke-lima track nya mengandung unsur daya ledak yang sama berbahayanya. Semua materinya kuat. Jauh dari kata monoton. Di lagu “Tanpa Ragu” mereka berpindah-pindah tempo seenaknya layaknya perpindahan frekuensi radio yang semena-mena diputar knobnya oleh tukang nasi goreng di malam buta. Satu hal yang saya tegaskan setelah mendengar album mereka, musik hardcore tidak pernah se-groovy dan semenarik ini.


6. Besok Bubar – Besok Bubar (Paviliun Records / 2011)

“Granj.” Tanpa diberitahu genre apa sih sebenarnya musik dari si Besok Bubar ini, melalui mendengar track pertama saja “Besok Mati”, aroma grunge-rock sangatlah harum mewangi. Trio pria macho ini memulas kekesalan yang dipendam akan kondisi sekeliling mereka menjadi musik yang celakanya malah membuat yang mendengar jadi melupakan kekesalan serupa karena terlalu terhibur. Tapi ketika kita membuka telinga lebih lebar, dan menangkap seluruh lirik dari album ini, kita akan merasakan lebih dari sekedar kesal. Dari segi lirik, mereka matang sekali. Amar sang pelantun geram menyuarakan nya dengan sangat pas. Membangun atmosfer kelam tetapi tetap bertenaga. Seperti grunge pada umumnya. Satu hal yang saya harapkan adalah penampilan live mereka semoga se-bertenaga album ini.


5. Polyester Embassy – Fake/Faker (FFWD Records / 2011)

Polyester Embassy adalah satu dari beberapa (bisa dibilang jarang) musisi / band yang memiliki karakter berjenis sangat sulit ditemukan similiaritasnya dan cenderung menjadi pionir. Kamu bisa dengan enak menarik benang kemiripan band 'The Ini' dengan 'Si Itu & Itu Ituan Band' atas nama genre lah, gaya bermusik lah, penulisan lirik lah, formasi di panggung bahkan sampai tatanan rambut malahan. Polyester Embassy menurut saya adalah spesies jarang. Setidaknya termasuk mereka yang hadir awal-awal. Di album Fake/Faker ini juga mereka masih menawarkan hal yang sama dengan album mereka sebelumnya “Tragicomedy”. Perbedaannya tentu saja ada. Mereka semakin liar dalam mengeksplorasi efek modulasi berlapis-lapis dalam setiap instrumen bahkan vokal. Beruntungnya kegiatan “hambur” tersebut diimbangi dengan penulisan musik yang sangat sangatlah baik. Mereka tidak terlalu terpengaruh dengan keinginan pembentukan sound yang stereotip, layak dengar, enak dijadikan lagu mobil, dll, dan hal ini yang membuat album ini menjad i emas dengan cara mereka sendiri. Bentuk artwork album ini juga merupakan sebuah nilai tambah. Ah goblog hade we lah pokonamah.




4. Morfem – Indonesia (MRFM Records – Demajors / 2011)

Mendengarkan album ini secara utuh bisa berdampak seketika membuat kita merasa berada di tengah pemukiman padat penduduk dan kita berada di usia 19-an. Sesak, tapi tetap memiliki cara sendiri untuk bisa dinikmati. Kuartet per-fusion-an aneka band senior ibu kota ini memformulasikan musik rock primitif – folk sabar – dan proto punk yang halus manja menjadi sebuah karunia pendengaran yang amat menawan. Ditambah lirik ciptaan sang maestro Jimi Multhazam yang selalu dan tetap berani memasukkan kata-kata yang tidak lazim dijadikan lirik lagu menjadi sangat wajar dan harus dinyanyikan. Balada manis di lagu “Wahana Jalan Tikus” yang menceritakan pengalaman berkendara sepeda motor dan terpaksa menyusup ke gang-gang di tengah kemacetan adalah sesi terbaik menurut saya di album ini. Diperkuat oleh kelakuan proses mixing mastering yang alamak ciamik, belum lagi tampilan artwork yang sangat mewakili suasana si album ini sendiri. Sungguh album ini adalah karya yang top-notch.


3. Luky Annash - 1800 (Demajors / 2011)

Luky Annash muncul dengan debut albumnya sebagai pria yang berjemarikan piano sambil bernyanyi ragu menggerutu di setiap lagunya. Album ini memiliki tingkat kemewahan secara atmosferikal. Luky benar-benar membuat seluruh lagu di album ini terdengar sangat nyaman. Didasari faktor kematangan aransemen lagu yang beberapa bahkan sudah diciptakan lebih dari 5 tahun lalu. Di lagu “Kaki Langit” contohnya, yang seperti disajikan sebagai intro, Lukky bernanyi tidak begitu jelas. Tapi lapisan musik dibelakangnya lah yang mempertegas secara bajingan kehangatan dari musik tersebut. Nada vokal yang lambat laun menyuruhmu tetap duduk di tempat yang sama dan jangan dulu bergerak, ditambah permainan piano yang seperti menjadi zona pernafasan nyaman membuat siapapun minimal merengut lalu tersenyum ketika mendengarkan album ini. Dengan adanya Luky Annash, pria bernyanyi sambil bermain piano tidak melulu harus menyanyikan tembang lawas ber-reffrain ulang-ulang-ulang sampai perempuan berteriak histeris. Piano dan nyanyian bisa menjadi sangat tegas dibawah naungannya.


2. BRNDLS – DGNR8 (Sinjitos Records / 2011)

Di album ini The Brandals merubah nama mereka dengan menghilangkan kata The dan seluruh huruf vokal menjadi BRNDLS macam merk clothing line dan distro-distro setempat. Mengingatkan saya kepada aksi dari Primal Scream beberapa tahun lewat. Yang ada di pikiran saya, ah palingan berubah nama doang, musik mah tetep ugal-ugalan. Lalu diputarlah CD ini di player kamar saya. Sontak saya dibuat bengong sampai baru sadar di lagu ke 4. “Ini beneran The Brandals ??” Mereka banting setir sekuat tenaga, mengumpulkan nyawa-nyawa yang berceceran di album-album sebelumnya, digunting lalu dijadikan kolase berwujud musik rock yang kali ini jauh lebih “rapih”. Aksi ini jelas beresiko. Beberapa fans mungkin akan mangkir ongkang akibat perubahan drastis yang mereka baru saja lakukan. Tapi saya termasuk yang mendukung langkah ini. Bukannya apa-apa, hampir seluruh track di album ini sama kuat dan brilian. Lirik yang masih menyentil keras, nada vokal slenge-an yang kali ini lebih bernyanyi dari Eka Annash, dibantu gemblengan produser Joseph Saryuf yang mempermudah transformasi besar-besaran ini. Untuk sekedar berubah, The Brandals tidak perlu sebagus ini. Tapi ya inilah The Brandals. Melakukan apapun dengan cara mereka sendiri.


1. Tulus – Music by Tulus (Musik Tulus – Demajors / 2011)

Solo-singer-songwriter berwujud pria tinggi besar bersuara manis sekali ini lama asyik masyuk di skena musik jazz independen kota Bandung. Dan pengalaman bergumul dengan orang-orang ber-ide sejenis tersebutlah yang menjadi salahsatu faktor mengapa album ini menjadi sebuah fragmen sangat-sangat baik. Tulus bernyanyi dengan percaya diri. Dibantu tangan-tangan dingin rentetan musisi jazz muda andalan masa depan Indonesia dibelakangnya dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Seluruh lagu dia ciptakan sendiri (beberapa lagu dibantu oleh si musisi-musisi muda tersebut) dan keseluruhan lagunya adalah musik yang akan masuk dengan permisi sangat tampan dan sopan ke telingamu. Dan duduk manis betah di otakmu lalu tidak mau pergi. Album ini bisa menjadi berkualitas-berkelas-tidak membosankan-sekaligus luar biasa catchy di waktu yang sama. Album ini akan menjadi playlist tetap di music player mu setidaknya bisa sampai selama 3 minggu. Hampir seluruhnya bertemakan cinta, Tulus memuja proses dari terciptanya cinta itu sendiri, bukan melulu membahas perasaan melayang wawawiwi pasca diterima sebagai pacar dll. Memuja proses dalam bentuk apapun. Dari track “Kisah Sebentar” yang digubah secara apik sampai ke track “Sewindu” yang sukses membuat perasaan patah hati bisa menjadi sangat gagah sekali. Saya mencuri sebuah quote pendapat dari salahsatu teman, “baru beli CD nya 3 hari yang lalu, dan sekarang saya sudah bisa mencetuskan album ini sebagai soundtrack pribadi saya.”

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More