Pertunjukan musik secara live pastilah punya posisi spesial di hati mereka yang benar-benar menikmati musik lebih dari para penggemar "lala yeyeye" plus joget sinkron band-band NSP-hit-wonder di acara musik di tv setiap pagi. Pertunjukan musik live dapat menjadi filter ketat tak terlihat untuk membelah mereka yang menyukai seorang musisi secara whole-packaged dan mereka yang hanya suka suara / gantengnya sang penyanyi.
Di pertunjukan musik live,---tidak lipsync-tidak minus one-tidak playback--- musisi menunjukan inti akar hasrat berkeseniannya. Memainkan karyanya langsung didepan penikmat. Membuat hubungan simbiosis mutualisme sederhana. Setiap gerak-gerik di atas panggung pasti diperhatikan, setiap nada fals yang keluar pasti dibicarakan, setiap kejanggalan pakaian pasti diingat dan dibawa ke mimpi basah penonton lawan jenis seumuran. Dan percayalah, hampir semua musisi senang diperhatikan dengan cara spesial seperti itu. Terutama mereka yang menonton membeli tiket dan menambah pemasukan si penampil.
Beda cerita dengan penonton yang datang tanpa tiket / gratisan. Atau yang lebih parah penonton yang dibayar penyelenggara supaya terlihat sesak di TV. Secara logika, mereka mengeluarkan cost yang lebih sedikit atau malah belum apa-apa sudah benefit duluan dibanding mereka yang membeli tiket dengan uang sendiri. Sehingga siapapun yang tampil di panggung, mereka tidak terlalu perduli. Karena diperhatikan atau tidaknya sang penampil, mereka tidak terlalu rugi. Asal dompet di saku penonton depan bisa tercuri, atau bisa masuk TV dadah dadah ke arah kamera. Tujuan masing-masing.
Kita bisa memasukkan beberapa nama produk rokok sebagai biang keladi pengikisan makna tiket. Sejak tahun 80-an di era almarhum bapak pembangunan, ketika TVRI masih menjadi produk langganan perbulan, hiburan musik belum se masif sekarang. Beberapa musisi pada saat itu butuh penyokong dana guna berjalannya acara musik live off-air mereka. Datanglah beberapa perwakilan produsen rokok menawarkan kerjasama sponsorship. Si musisi senang dibiayai, produsen rokok senang terpublikasi. Semua senang.
Semakin kesini, keadaan dimana "rokok" menjadi sponsor utama / tunggal sebuah acara musik off-air semakin biasa. Peraturan pemerintah yang membatasi iklan rokok di majalah, koran, dan televisi membuat mereka semakin menjadi-jadi. Seluruh kebutuhan finansial satu acara bisa mereka tebus asalkan nama produk mereka terpampang di baligo dalam radius 3 KM dari area acara, menempati 20% spot di pamflet, dan lain-lain dan lain-lain. Sulitnya perizinan dan mahalnya penyewaan panggung beserta sound system berkualitas membuat beberapa EO malah terkesan mau tidak mau "menghamba" kepada "rokok".
Celakanya, di beberapa acara pertunjukan musik yang benar-benar dibuat sendiri oleh produsen rokok guna sarana publikasi produk, harga tiket di 0 rupiah kan. Guna semua orang memiliki akses masuk. Penyesuaian dengan target market dari rokok itu sendiri. Semua rakyat punya akses menghisap asap rokok untuk masuk. Talenta papan atas dan artis ibukota harus berhadapan dengan penonton yang tidak tahu samasekali makna lirik dari lagu yang dinyanyikan di atas panggung. Tujuan sang penonton hanya hiburan gratis. Si artis, tidak bisa menuntut lebih. Kocek terpenuhi, simbiosis mutualisme sederhana memuai sedari kapan hari.
Imbas nya sangat-sangat-sangatlah negatif. Salahsatunya di kota Bandung. "Ah nonton ST12 jeung Wali wae kamari gratis di tegallega, maenya nonton GIGI kudu mayar 20.000 ? Hoream ah.", ujar Ahmad, seorang penjual pulsa elektronik di depan komplek rumah saya. Penonton musik sudah mulai pindah hadapan tempat duduk. EO-EO yang bekerjasama dengan produsen rokok mengundang artis yang pasti akan ramai didatangi oleh penonton. Penonton yang selalu setia datang di akhir pekan tanpa modal apapun. Atas nama satu tujuan, hiburan gratis. Stigma "acara musik gratis" meluas. EO-EO independen cedera.
Setiap diadakan acara ber-tiket, potensi penjebolan pagar semakin meningkat. Penggandaan tiket mudah ditemukan. Panitia ticket-ing yang kongkalikong dengan calo pun bisa didengar ceritanya. Terlalu lama ditinggal budaya menghargai karya (dalam hal ini membeli tiket), acara musik dipaksa berdiri langsung tanpa penopang. Situasi merugi ini membuat keropos akar penerapan kesenian di kota Bandung. Belum lagi kurangnya fasilitas gedung khusus pementasan seni dan birokrasi perizinan yang berbelit-belit seperti usus 12 jari.
EO lokal independen yang membuat acara dengan tiket takut acaranya tidak laku. Mereka yang sudah ditanamkan budaya membeli tiket, sulit menemukan acara berkompeten untuk menghibur sesuai keinginan. Kondisi ini sudah gawat. Pemasukan musisi (yang tidak memotong-motong karyanya menjadi 40 detik menjadi NSP) di era digital ini bergantung pada acara off-air. Secara langsung bergantung pada harga tiket masuk. Semuanya berhubungan. Berhubungan semuanya. Sementara jika melihat kota Jakarta, EO lokal masih tenang karena acara ber-tiket mereka di akhir pekan tetap sold out atau minimal lebih dari 50% tiket terjual. Bisa jadi diakibatkan tingkat stress warga jakarta yang tinggi dan haus hiburan di akhir pekan yang menjadi alasan utama.
Kota Bandung di era sekarang menurut saya sedang menuju panen raya. Bibit-bibit seniman musik yang jumlahnya banyaaaaaak sekali sedang ranum-ranum nya dan butuh perhatian lebih agar dapat disemaikan dalam kondisi prima di waktu yang tepat. Inisiatif demi inisiatif dilancarkan demi mencegah terjadinya gagal panen. Studio show (acara dimana setiap band / musisi udunan membayar harga penyewaan tempat pertunjukan -biasanya studio musik- lalu menjual tiket nya masing-masing), Panggung berbayar (hampir sejenis dengan studio musik, namun di panggung yang lebih "layak" misal di cafe dll.), dan banyak usaha-usaha lain. Dan biasanya tiket-tiket tersebut jarang terjual habis.
Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan pemerintah dan produsen rokok. Juga tidak bisa terus-terusan menyerah, mencibir, menghela nafas satir akan nasib pertunjukan musik di kota sejuta musisi ini. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah memulai. Memulai lagi. Menanamkan budaya saling menghargai karya. Membeli tiket konser musik adalah salah satu bentuk dukungan langsung yang sangat nyata dan mudah dilakukan. Cukup sisihkan uang jajanmu, lalu datang bersama temamnmu di akhir pekan. Beli tiketnya, dan kita akan jauh menjadi lebih menyayangi talenta musik lokal kota ini. Beli tiketnya, dan kita akan jauh menjadi lebih menghargai jerih payah Event Organizer yang mengerjakan dengan hati. Beli tiketnya, dan berhenti menyalahkan pihak-pihak lain sebagai biang keladi kondisi kemunduran ini. Beli tiketnya ! Beli tiketnya ! Beli tiketnya !
Maulana Malik Ibrahim
Di pertunjukan musik live,---tidak lipsync-tidak minus one-tidak playback--- musisi menunjukan inti akar hasrat berkeseniannya. Memainkan karyanya langsung didepan penikmat. Membuat hubungan simbiosis mutualisme sederhana. Setiap gerak-gerik di atas panggung pasti diperhatikan, setiap nada fals yang keluar pasti dibicarakan, setiap kejanggalan pakaian pasti diingat dan dibawa ke mimpi basah penonton lawan jenis seumuran. Dan percayalah, hampir semua musisi senang diperhatikan dengan cara spesial seperti itu. Terutama mereka yang menonton membeli tiket dan menambah pemasukan si penampil.
Beda cerita dengan penonton yang datang tanpa tiket / gratisan. Atau yang lebih parah penonton yang dibayar penyelenggara supaya terlihat sesak di TV. Secara logika, mereka mengeluarkan cost yang lebih sedikit atau malah belum apa-apa sudah benefit duluan dibanding mereka yang membeli tiket dengan uang sendiri. Sehingga siapapun yang tampil di panggung, mereka tidak terlalu perduli. Karena diperhatikan atau tidaknya sang penampil, mereka tidak terlalu rugi. Asal dompet di saku penonton depan bisa tercuri, atau bisa masuk TV dadah dadah ke arah kamera. Tujuan masing-masing.
Kita bisa memasukkan beberapa nama produk rokok sebagai biang keladi pengikisan makna tiket. Sejak tahun 80-an di era almarhum bapak pembangunan, ketika TVRI masih menjadi produk langganan perbulan, hiburan musik belum se masif sekarang. Beberapa musisi pada saat itu butuh penyokong dana guna berjalannya acara musik live off-air mereka. Datanglah beberapa perwakilan produsen rokok menawarkan kerjasama sponsorship. Si musisi senang dibiayai, produsen rokok senang terpublikasi. Semua senang.
Semakin kesini, keadaan dimana "rokok" menjadi sponsor utama / tunggal sebuah acara musik off-air semakin biasa. Peraturan pemerintah yang membatasi iklan rokok di majalah, koran, dan televisi membuat mereka semakin menjadi-jadi. Seluruh kebutuhan finansial satu acara bisa mereka tebus asalkan nama produk mereka terpampang di baligo dalam radius 3 KM dari area acara, menempati 20% spot di pamflet, dan lain-lain dan lain-lain. Sulitnya perizinan dan mahalnya penyewaan panggung beserta sound system berkualitas membuat beberapa EO malah terkesan mau tidak mau "menghamba" kepada "rokok".
Celakanya, di beberapa acara pertunjukan musik yang benar-benar dibuat sendiri oleh produsen rokok guna sarana publikasi produk, harga tiket di 0 rupiah kan. Guna semua orang memiliki akses masuk. Penyesuaian dengan target market dari rokok itu sendiri. Semua rakyat punya akses menghisap asap rokok untuk masuk. Talenta papan atas dan artis ibukota harus berhadapan dengan penonton yang tidak tahu samasekali makna lirik dari lagu yang dinyanyikan di atas panggung. Tujuan sang penonton hanya hiburan gratis. Si artis, tidak bisa menuntut lebih. Kocek terpenuhi, simbiosis mutualisme sederhana memuai sedari kapan hari.
Imbas nya sangat-sangat-sangatlah negatif. Salahsatunya di kota Bandung. "Ah nonton ST12 jeung Wali wae kamari gratis di tegallega, maenya nonton GIGI kudu mayar 20.000 ? Hoream ah.", ujar Ahmad, seorang penjual pulsa elektronik di depan komplek rumah saya. Penonton musik sudah mulai pindah hadapan tempat duduk. EO-EO yang bekerjasama dengan produsen rokok mengundang artis yang pasti akan ramai didatangi oleh penonton. Penonton yang selalu setia datang di akhir pekan tanpa modal apapun. Atas nama satu tujuan, hiburan gratis. Stigma "acara musik gratis" meluas. EO-EO independen cedera.
Setiap diadakan acara ber-tiket, potensi penjebolan pagar semakin meningkat. Penggandaan tiket mudah ditemukan. Panitia ticket-ing yang kongkalikong dengan calo pun bisa didengar ceritanya. Terlalu lama ditinggal budaya menghargai karya (dalam hal ini membeli tiket), acara musik dipaksa berdiri langsung tanpa penopang. Situasi merugi ini membuat keropos akar penerapan kesenian di kota Bandung. Belum lagi kurangnya fasilitas gedung khusus pementasan seni dan birokrasi perizinan yang berbelit-belit seperti usus 12 jari.
EO lokal independen yang membuat acara dengan tiket takut acaranya tidak laku. Mereka yang sudah ditanamkan budaya membeli tiket, sulit menemukan acara berkompeten untuk menghibur sesuai keinginan. Kondisi ini sudah gawat. Pemasukan musisi (yang tidak memotong-motong karyanya menjadi 40 detik menjadi NSP) di era digital ini bergantung pada acara off-air. Secara langsung bergantung pada harga tiket masuk. Semuanya berhubungan. Berhubungan semuanya. Sementara jika melihat kota Jakarta, EO lokal masih tenang karena acara ber-tiket mereka di akhir pekan tetap sold out atau minimal lebih dari 50% tiket terjual. Bisa jadi diakibatkan tingkat stress warga jakarta yang tinggi dan haus hiburan di akhir pekan yang menjadi alasan utama.
Kota Bandung di era sekarang menurut saya sedang menuju panen raya. Bibit-bibit seniman musik yang jumlahnya banyaaaaaak sekali sedang ranum-ranum nya dan butuh perhatian lebih agar dapat disemaikan dalam kondisi prima di waktu yang tepat. Inisiatif demi inisiatif dilancarkan demi mencegah terjadinya gagal panen. Studio show (acara dimana setiap band / musisi udunan membayar harga penyewaan tempat pertunjukan -biasanya studio musik- lalu menjual tiket nya masing-masing), Panggung berbayar (hampir sejenis dengan studio musik, namun di panggung yang lebih "layak" misal di cafe dll.), dan banyak usaha-usaha lain. Dan biasanya tiket-tiket tersebut jarang terjual habis.
Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan pemerintah dan produsen rokok. Juga tidak bisa terus-terusan menyerah, mencibir, menghela nafas satir akan nasib pertunjukan musik di kota sejuta musisi ini. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah memulai. Memulai lagi. Menanamkan budaya saling menghargai karya. Membeli tiket konser musik adalah salah satu bentuk dukungan langsung yang sangat nyata dan mudah dilakukan. Cukup sisihkan uang jajanmu, lalu datang bersama temamnmu di akhir pekan. Beli tiketnya, dan kita akan jauh menjadi lebih menyayangi talenta musik lokal kota ini. Beli tiketnya, dan kita akan jauh menjadi lebih menghargai jerih payah Event Organizer yang mengerjakan dengan hati. Beli tiketnya, dan berhenti menyalahkan pihak-pihak lain sebagai biang keladi kondisi kemunduran ini. Beli tiketnya ! Beli tiketnya ! Beli tiketnya !
Maulana Malik Ibrahim