Setiap musisi / pelaku seni musik (yang benar-benar niat menekuni bidang tersebut) biasanya membutuhkan sebuah media arsip untuk hasil karya musiknya, yang biasa oleh beberapa orang disebut rekaman. Entah itu untuk tujuan pembuatan demo kasar yang fungsinya sebagai sketsa / blueprint untuk digarap lebih serius (baca : rapih) lagi nantinya ? Atau untuk tujuan pembuatan dalam satu album solo, satu single, satu album kompilasi, dan lain sebagainya. Apapun jenis tujuan rekamannya, selalu ada 1 hal vital yang memberi garis batas perbedaan yang jelas antara setiap rekaman : STANDAR KUALITAS.
Yang saya maksud standar kualitas disini adalah, hasil rekaman yang layak dengar. Saya berani menulis kata "layak" disini karena kualitas itu sifatnya tidak relatif. Berbeda dengan selera hasil karya dari musiknya sendiri yang sifatnya sangat relatif banget. Analogi yang pas nya mungkin sebuah soto ayam enak apa engganya, asin atau pedesnya, tergantung siapa yang makan. Tapi semua soto ayam pasti oleh si-mang-mang nya ditaro di mangkok supaya ngga tumpah, dikasih sendok yang ukurannya pas supaya porsi tiap suapan nya juga pas, diisi oleh bahan makanan yang seengganya ngga beracun buat siapa aja yang makan, dan kalau kepikiran dikasih dressing / hiasan yang menarik supaya nambah sugesti bahwa soto yang dibuat itu enak (padahal baru diliat doang).
Intinya, pastilah ada standar tertentu dalam kualitas hasil rekaman karya musik. Apakah master volume nya pas di kuping, ngga bikin budeg dll., bersih dari noise-noise yang tidak sengaja keluar, tidak ada slip / fals yang juga tidak sengaja, dan sebagainya dan sebagainya. Sementara ini saya menjabat sebagai tukang filter rekaman lagu-lagu yang masuk ke radio ini (ROI! RADIO) guna menentukan kualitas rekaman lagu tersebut layak untuk diperdengarkan atau tidak. Dan ahay ! saya menemukan banyak sekali kasus yang menarik. Kalau tidak menarik mah saya males juga nulis artikel ini.
Kasus ini saya anggap paling menarik, ada sebuah band yang udah beken lah hitungannya, udah mulai sering manggung dimana-mana, dan lagu-lagunya banyak yang merekues untuk diputar. Ya sugesti saya pertama mah ya PD aja lah ya masukin aja lagu mereka ke playlist. Taunya jreng ketika siaran, hampir ngga jelas dan ngga berbentuk isi lagu dari rekaman tersebut. (Untuk Informasi : kualitas suara digital siaran streaming dari ROI! RADIO adalah 56 Kbps - 22,1 kHz - Stereo dalam format mp3 regular. Dengan alasan koneksi internet di Indonesia yang kebanyakan masih ripuh kami belum berani lebih tinggi dari itu. 7 KBytes tiap detiknya kita upload ke angkasa, dan kalian download dengan selisih delay beberapa detik itupun kadang masih suka buffering). Sementara standar bitrate koleksi lagu / hasil rip dari CD yang ada di rak kami rata-rata 192 Kbps keatas Constant Bit Rate. Dan apabila di transcode menjadi 56 Kbps kedengerannya masih enak dan jelas.
Naah kembali ke kasus pertama, apa yang salah sebenarnya dengan rekaman mereka ? kok jadi ngga ngebentuk si suaranya. Kurang jelas atau gimana. Ketika saya cek bitrate file digital lagunya juga aman-aman saja. Lalu saya iseng menaruh file mp3 lagu band tersebut di software Adobe Audition bajakan di komputer kamar saya. Dan yang terlihat adalah gelombang dari file mp3 tersebut bentuknya tidak lazim jika dibandingkan dengan hasil rekaman lain. Semakin penasaran, saya dengerin pake headphone kedap suara, sambil merem, baru ketahuan apa yang aneh. Master Volume dari lagunya rata tidak berdinamika. Nangkep ngga maksudnya rata teh gimana ?
Jadi gini deh saya gambarin weh ya. Di hasil rekamannya pada 1 menit awal, suara gitar nya tajem dan kedengeran paling depan. Lalu vokal masuk, suara gitar yang tadinya paling kedengeran masih tetep jadi yang paling kedengeran. hehehe. Si vokalnya ketutupan. Dan kebetulan si sound gitar nya juga rada ganggu euy. Distorsi nya cempreng sekali. Saya mikir, ooh mungkin disengaja. Ooh mungkin emang band noise-rock gitu sengaja suara gitar lebih dominan. Lalu di satu part, ketika si drummer melakukan rolling (manuver yang biasa digunakan di part drum untuk ngasihtau pergantian part lagu. Hampir semua rolling biasanya melibatkan bagian drum selain snare, seperti tom-tom atau simbal) si suara salahsatu "tom" nya keras pisan. DUNG !! tiba-tiba. Padahal mereka rekaman di studio dengan sistem track-per-track, yang harusnya lebih rapih karena bisa beberapa kali take ulang tiap instrumen satu-satu. Tidak langsung rekam bebarengan live gitu yang harus main sepanjang lagu non-stop.
Besoknya, saya iseng nanya ke salahsatu personil dari band tersebut, "si lagu yang kemarin di kasih teh udah di mixing belum ? hehe punteun pisan, soalnya kedengerannya kaya aneh.." lalu si personil ini menjawab, "he.. mixing.. udah belum yah ? sebentar ditanyain dulu.." (sambil sms).
Ingin rasanya berkata "ARI MANEEEH..!!" tapi tidak sopan. Ingin menepuk jidad sendiri, lagi ngga ada nyamuk, jadi ngga ada alasan nanti kalo ditanya kenapa nepuk jidad sendiri. Ingin menepuk jidad beliau apalagi. Lalu saya bertanya lagi, "pas habis rekaman, udah sempet di-balance-ing belum sama si operator nya ?" , lalu dijawab lagi.. "beres rekaman teh langsung baralik aja. hehe. da budget nya minim, cuma cukup buat 1 shift. (6 jam). Independen soalnya." disini baru saya refleks pisan keluar kata "WAAAAH.. PANTESAAAN.." sumpahan refleks.
Jadi begini, di beberapa studio rekaman seperti contohnya ARU (jl. riau), jika operatornya pak Ading, kalau kita beres rekaman semua track instrumen dan vokal udah masuk fix, beliau bakal balancing dulu semuanya. Supaya ngga timpang gitu. Biasanya sengaja dibikin flat, supaya nanti kalau mau di mixing jadi gampang. Proses mixing beda cerita lagi. Di proses mixing inilah baru kita konsultasi sama teknisi mixing-annya untuk ngatur dinamika si rekamannya. Gitar nya mau kedengeran kerasnya pas dimana aja, Vokalnya mau ada gema sedikit apa engga, Ambiens suara yang keluar mau melebar, kiri-kanan nya dapet, dan istilah lain sebagainya.
Setelah sharing perihal proses pasca-tracking dengan si personil band tersebut, dia berkata. Soalnya kan kita mah indie rekamannya, jadi ya seadanya aja. Saya menangkap disini kesalahan besarnya. Mau Independen kek, mau Major Label kek, kualitas rekaman mah harga mati. Saya bingung, emang menurut si personil band tersebut, hasil rekaman lagu yang daritadi saya bahas teh enakeun gitu ? Dia menjawab "ya lumayan lah.. kita nya sih ngerti." Ya iya ngerti, da lagu buatan kamu atuh hehehe.
Balik lagi pisan ke tujuan awal. Rekaman nya mau dikemanain sih ? Diperdengarkan ke khalayak banyak, atau jadi konsumsi sendiri untuk evaluasi sendiri gitu misalkan. Ingat, kalau ditujukan untuk tujuan yang pertama, pikirin juga kuping mereka yang bakal jadi pendengar. Idealis mah sook lah idealis, tapi idealis yang bertanggung jawab. Pake analogi soto ayam lagi lah ya. Kamu bikin soto pake bumbu yang beda sendiri takarannya, warna kuah nya juga diganti, wangi nya juga dirubah pake essens bunga anggrek misalnya, kuah nya banyak, tapi penyajiannya pake piring rata. Apa yang mau dinikmati ? Keburu tumpah semuanya.
Mungkin kalau yang dikeluhkan adalah budget, ya nabung dulu lah. Dipersiapkan budget khusus untuk proses pasca-rekaman. Mixing dan mastering itu bisa jadi sama pentingnya dengan proses tracking. Bahkan terkadang malah lebih penting. Atuh band yang sound nya pabalatak tidak lazim kaya No Age atau My Bloody Valentine juga mereka mah pasti mixing-mastering dulu. Pilih SDM pasca-rekaman yang berkualitas dan cocok dengan sound yang anda cari. Udah banyak banget lah yang capable di Indonesia sekarang mah.
Atau kalau misalnya untuk sekedar demo, bisa minta di balancing dulu aja ke operator rekamannya. Seengganya si "soto" nya dikasih mangkok dulu lah. Biar berbentuk dulu. Ada beberapa band yang sudah puas tanpa proses mixing mastering. Di balancing saja dirasa sudah cukup menurut mereka. Tapi kalau ada musisi / pelaku seni musik yang sudah puas betul dengan hasil rekaman tanpa proses pasca-rekaman tersebut, insya Allah potensi besar lagu yang mereka hasilkan bakal "tumpah" tak bersisa begitu saja dan malah "panas" nya bisa mengganggu mereka yang terkena. Sayang banget. Lalui dan nikmatilah proses pembuatan karyamu secara layak. Salam buat temen-temen band kamu. Semoga sukses.
Maulana Malik Ibrahim
Yang saya maksud standar kualitas disini adalah, hasil rekaman yang layak dengar. Saya berani menulis kata "layak" disini karena kualitas itu sifatnya tidak relatif. Berbeda dengan selera hasil karya dari musiknya sendiri yang sifatnya sangat relatif banget. Analogi yang pas nya mungkin sebuah soto ayam enak apa engganya, asin atau pedesnya, tergantung siapa yang makan. Tapi semua soto ayam pasti oleh si-mang-mang nya ditaro di mangkok supaya ngga tumpah, dikasih sendok yang ukurannya pas supaya porsi tiap suapan nya juga pas, diisi oleh bahan makanan yang seengganya ngga beracun buat siapa aja yang makan, dan kalau kepikiran dikasih dressing / hiasan yang menarik supaya nambah sugesti bahwa soto yang dibuat itu enak (padahal baru diliat doang).
Intinya, pastilah ada standar tertentu dalam kualitas hasil rekaman karya musik. Apakah master volume nya pas di kuping, ngga bikin budeg dll., bersih dari noise-noise yang tidak sengaja keluar, tidak ada slip / fals yang juga tidak sengaja, dan sebagainya dan sebagainya. Sementara ini saya menjabat sebagai tukang filter rekaman lagu-lagu yang masuk ke radio ini (ROI! RADIO) guna menentukan kualitas rekaman lagu tersebut layak untuk diperdengarkan atau tidak. Dan ahay ! saya menemukan banyak sekali kasus yang menarik. Kalau tidak menarik mah saya males juga nulis artikel ini.
Kasus ini saya anggap paling menarik, ada sebuah band yang udah beken lah hitungannya, udah mulai sering manggung dimana-mana, dan lagu-lagunya banyak yang merekues untuk diputar. Ya sugesti saya pertama mah ya PD aja lah ya masukin aja lagu mereka ke playlist. Taunya jreng ketika siaran, hampir ngga jelas dan ngga berbentuk isi lagu dari rekaman tersebut. (Untuk Informasi : kualitas suara digital siaran streaming dari ROI! RADIO adalah 56 Kbps - 22,1 kHz - Stereo dalam format mp3 regular. Dengan alasan koneksi internet di Indonesia yang kebanyakan masih ripuh kami belum berani lebih tinggi dari itu. 7 KBytes tiap detiknya kita upload ke angkasa, dan kalian download dengan selisih delay beberapa detik itupun kadang masih suka buffering). Sementara standar bitrate koleksi lagu / hasil rip dari CD yang ada di rak kami rata-rata 192 Kbps keatas Constant Bit Rate. Dan apabila di transcode menjadi 56 Kbps kedengerannya masih enak dan jelas.
Naah kembali ke kasus pertama, apa yang salah sebenarnya dengan rekaman mereka ? kok jadi ngga ngebentuk si suaranya. Kurang jelas atau gimana. Ketika saya cek bitrate file digital lagunya juga aman-aman saja. Lalu saya iseng menaruh file mp3 lagu band tersebut di software Adobe Audition bajakan di komputer kamar saya. Dan yang terlihat adalah gelombang dari file mp3 tersebut bentuknya tidak lazim jika dibandingkan dengan hasil rekaman lain. Semakin penasaran, saya dengerin pake headphone kedap suara, sambil merem, baru ketahuan apa yang aneh. Master Volume dari lagunya rata tidak berdinamika. Nangkep ngga maksudnya rata teh gimana ?
Jadi gini deh saya gambarin weh ya. Di hasil rekamannya pada 1 menit awal, suara gitar nya tajem dan kedengeran paling depan. Lalu vokal masuk, suara gitar yang tadinya paling kedengeran masih tetep jadi yang paling kedengeran. hehehe. Si vokalnya ketutupan. Dan kebetulan si sound gitar nya juga rada ganggu euy. Distorsi nya cempreng sekali. Saya mikir, ooh mungkin disengaja. Ooh mungkin emang band noise-rock gitu sengaja suara gitar lebih dominan. Lalu di satu part, ketika si drummer melakukan rolling (manuver yang biasa digunakan di part drum untuk ngasihtau pergantian part lagu. Hampir semua rolling biasanya melibatkan bagian drum selain snare, seperti tom-tom atau simbal) si suara salahsatu "tom" nya keras pisan. DUNG !! tiba-tiba. Padahal mereka rekaman di studio dengan sistem track-per-track, yang harusnya lebih rapih karena bisa beberapa kali take ulang tiap instrumen satu-satu. Tidak langsung rekam bebarengan live gitu yang harus main sepanjang lagu non-stop.
Besoknya, saya iseng nanya ke salahsatu personil dari band tersebut, "si lagu yang kemarin di kasih teh udah di mixing belum ? hehe punteun pisan, soalnya kedengerannya kaya aneh.." lalu si personil ini menjawab, "he.. mixing.. udah belum yah ? sebentar ditanyain dulu.." (sambil sms).
Ingin rasanya berkata "ARI MANEEEH..!!" tapi tidak sopan. Ingin menepuk jidad sendiri, lagi ngga ada nyamuk, jadi ngga ada alasan nanti kalo ditanya kenapa nepuk jidad sendiri. Ingin menepuk jidad beliau apalagi. Lalu saya bertanya lagi, "pas habis rekaman, udah sempet di-balance-ing belum sama si operator nya ?" , lalu dijawab lagi.. "beres rekaman teh langsung baralik aja. hehe. da budget nya minim, cuma cukup buat 1 shift. (6 jam). Independen soalnya." disini baru saya refleks pisan keluar kata "WAAAAH.. PANTESAAAN.." sumpahan refleks.
Jadi begini, di beberapa studio rekaman seperti contohnya ARU (jl. riau), jika operatornya pak Ading, kalau kita beres rekaman semua track instrumen dan vokal udah masuk fix, beliau bakal balancing dulu semuanya. Supaya ngga timpang gitu. Biasanya sengaja dibikin flat, supaya nanti kalau mau di mixing jadi gampang. Proses mixing beda cerita lagi. Di proses mixing inilah baru kita konsultasi sama teknisi mixing-annya untuk ngatur dinamika si rekamannya. Gitar nya mau kedengeran kerasnya pas dimana aja, Vokalnya mau ada gema sedikit apa engga, Ambiens suara yang keluar mau melebar, kiri-kanan nya dapet, dan istilah lain sebagainya.
Setelah sharing perihal proses pasca-tracking dengan si personil band tersebut, dia berkata. Soalnya kan kita mah indie rekamannya, jadi ya seadanya aja. Saya menangkap disini kesalahan besarnya. Mau Independen kek, mau Major Label kek, kualitas rekaman mah harga mati. Saya bingung, emang menurut si personil band tersebut, hasil rekaman lagu yang daritadi saya bahas teh enakeun gitu ? Dia menjawab "ya lumayan lah.. kita nya sih ngerti." Ya iya ngerti, da lagu buatan kamu atuh hehehe.
Balik lagi pisan ke tujuan awal. Rekaman nya mau dikemanain sih ? Diperdengarkan ke khalayak banyak, atau jadi konsumsi sendiri untuk evaluasi sendiri gitu misalkan. Ingat, kalau ditujukan untuk tujuan yang pertama, pikirin juga kuping mereka yang bakal jadi pendengar. Idealis mah sook lah idealis, tapi idealis yang bertanggung jawab. Pake analogi soto ayam lagi lah ya. Kamu bikin soto pake bumbu yang beda sendiri takarannya, warna kuah nya juga diganti, wangi nya juga dirubah pake essens bunga anggrek misalnya, kuah nya banyak, tapi penyajiannya pake piring rata. Apa yang mau dinikmati ? Keburu tumpah semuanya.
Mungkin kalau yang dikeluhkan adalah budget, ya nabung dulu lah. Dipersiapkan budget khusus untuk proses pasca-rekaman. Mixing dan mastering itu bisa jadi sama pentingnya dengan proses tracking. Bahkan terkadang malah lebih penting. Atuh band yang sound nya pabalatak tidak lazim kaya No Age atau My Bloody Valentine juga mereka mah pasti mixing-mastering dulu. Pilih SDM pasca-rekaman yang berkualitas dan cocok dengan sound yang anda cari. Udah banyak banget lah yang capable di Indonesia sekarang mah.
Atau kalau misalnya untuk sekedar demo, bisa minta di balancing dulu aja ke operator rekamannya. Seengganya si "soto" nya dikasih mangkok dulu lah. Biar berbentuk dulu. Ada beberapa band yang sudah puas tanpa proses mixing mastering. Di balancing saja dirasa sudah cukup menurut mereka. Tapi kalau ada musisi / pelaku seni musik yang sudah puas betul dengan hasil rekaman tanpa proses pasca-rekaman tersebut, insya Allah potensi besar lagu yang mereka hasilkan bakal "tumpah" tak bersisa begitu saja dan malah "panas" nya bisa mengganggu mereka yang terkena. Sayang banget. Lalui dan nikmatilah proses pembuatan karyamu secara layak. Salam buat temen-temen band kamu. Semoga sukses.
Maulana Malik Ibrahim